Rabu, 03 Agustus 2011

Haruskah Menolak Khitbah (Pinangan)?

SAHABAT Bilal melamar seorang wanita Quraisy (suku terhormat) untuk dinikahkan dengan saudaranya. Ia berkata kepada keluarga wanita Quraisy, “Kalian telah mengetahui keberadaan kami. Dahulu kami adalah para hamba sahaya, lalu kami dimerdekakan Allah . Kami dahulu adalah orang-orang tersesat, lalu kami diberikan hidayah oleh Allah . Kami dulunya fakir, lalu kami dijadikan kaya oleh-Nya. Kini, kami akan melamar wanita Fulanah ini untuk dijodohkan dengan saudaraku. Jika kalian menerimanya, maka alhamdulillah (segala puji bagi Allah). Dan, bila kalian menolak, maka Allahu akbar (Allah Maha Besar).”

Anggota keluarga wanita itu tampak saling memandang satu dengan yang lainnya. Mereka lalu berkata, “Bilal termasuk orang yang kita kenal kepeloporan, kepahlawanan, dan kedudukannya di sisi Rasulullah n. Maka, nikahkanlah saudaranya dengan putri kita.” Mereka lalu menikahkan saudara Bilal dengan wanita Quraisy tersebut. Usai itu, saudara Bilal berkata kepada Bilal, “Mudah-mudahan Allah l mengampuni. Apa engkau menuturkan kepeloporan dan kepahlawanan kami bersama dengan Rasulullah, sedang engkau tidak menuturkan hal-hal selain itu?”

Bilal menjawab, “Diamlah saudaraku, kamu jujur, dan kejujuran itulah yang menjadikan kamu menikah dengannnya.” (Al Mustathraf, I : 356).

Tidak mudah memang mengambil langkah besar melamar seorang wanita. Di manapun lelaki biasanya merasa deg-degan untuk memulainya. Ada perasaan takut ditolak serta harapan untuk diterima membuat langkah jadi maju-mundur. Tapi, memang harus ada keberanian untuk mencoba agar jelas dan tak mati penasaran dibuatnya. Mungkin, perasaan ini mewakili mayoritas perasaan kaum laki-laki.

Maklum, dalam proses mewujudkan harapan berumah tangga banyak rintangan dan tantangan yang menghadang seseorang. Salah satunya adalah masalah khitbah (melamar calon istri). Banyak pernik-pernik yang menghiasi perjalanan seseorang dalam proses lamarannya.

Namun, tidak selamanya pinangan berujung pada pernikahan. Kadang kala, pinangan harus berhenti sebelum dilangsungkannya ijab qabul, dalam arti tidak selamanya pinangan harus diterima oleh yang pihak yang meminang, atau orang yang meminang mengurunkan niatannya untuk melangkah lebih jauh, yakni pernikahan. Berikut ini akan dibahas seputar perjalanan sebuah pinangan yang kandas di tengah jalan. Bagaimana kita menyikapinya dan apa yang musti kita lakukan ketika kita membatalkan pinangan?

Hukum meminang

Khitbah atau meminang bukanlah syarat sahnya sebuah pernikahan. Seandainya sebuah pernikahan dilaksanakan tanpa khitbah sekalipun, pernikahan tersebut tetap sah. Pada umumnya, khitbah merupakan jalan menuju pernikahan. Menurut jumhur ulama, khitbah itu diperbolehkan, sesuai dengan firman Allah swt, “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu…” (Al-Baqarah [2] : 235)

Pendapat yang dipercaya oleh para pengikut mazhab Syafi‘i adalah khitbah hukumnya sunnah, sesuai dengan perbuatan Rasulullah n, di mana beliau meminang Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah binti Umar c. Hal ini boleh dilakukan jika pada diri wanita tersebut tidak ada penghalang yang membuatnya tidak boleh dinikahi. Jika ada penghalang, maka khitbah tidak boleh dilakukan.

Dalam kitab Hasyiyah ‘alal Muhalla, Syaikh Syihabuddin Al-Qalyubi berkata, “Sesungguhnya khitbah itu memiliki hukum yang sama dengan hukum pernikahan, yaitu; wajib, sunnah, makruh, haram, ataupun mubah. Sunnah jika pria yang akan meminang termasuk orang yang disunnahkan untuk menikah. Contohnya, orang yang telah memiliki kemampuan untuk menikah, dan ia tidak merasa khawatir dirinya akan terjerumus dalam perzinaan. Makruh, jika pria yang akan meminang termasuk orang yang dimakruhkan baginya untuk menikah. Sebab, hukum sarana itu mengikuti hukum tujuan.

Khitbah yang hukumnya diharamkan menurut ijma‘ adalah mengkhitbah wanita yang sudah menikah, mengkhitbah wanita yang ditalak dengan talak raj‘i sebelum selesai masa iddahnya, sebab statusnya masih sebagai wanita yang telah menikah.

Sedangkan, khitbah juga diharamkan bagi orang yang memiliki empat istri, termasuk khitbah terhadap wanita yang antara dirinya dan istri si peminang diharamkan untuk disatukan sebagai istri, mengkhitbah wanita yang sudah dikhitbah oleh orang lain dan lain-lain yang akan dijelaskan nanti.

Khitbah hukumnya wajib bagi orang yang merasa khawatir akan terjerumus dalam perzinaan jika tidak segera meminang dan menikah. Sedangkan, khitbah hukumnya mubah dan halal jika wanita tersebut dalam kondisi kosong dari pernikahan, serta tidak ada suatu halangan hukum yang menghalangi untuk dilamar.

Membatalkan Pinangan

Perlu dipahami sebelumnya bahwa pinangan itu bukanlah ikatan. Ia hanyalah janji untuk mengikat suatu. Sedangkan janji untuk mengikat suatu itu tidak selalu harus terlaksana, menurut jumhur ulama. Sehingga, sang wali tidak salah bila menarik kembali jawabannya bila ia melihat adanya suatu maslahat bagi wanita yang dipinang.

Wanita yang dipinang itu sendiri tidak ada salahnya bila ia menarik kembali janjinya bila tidak menyukai si peminang. Sebab, nikah merupakan ikatan seumur hidup, di mana kekhawatiran akan terus-menerus ada di dalamnya. Karena itu, wanita yang hendak menikah harus berhati-hati dengan dirinya sendiri dan memperhatikan keberuntungannya.

Akan tetapi, apabila wali atau tunangan menarik kembali janji tersebut tanpa tujuan apa pun, hal itu tidak dibenarkan. Karena itu termasuk pengingkaran janji dan menjilat ludah sendiri. Namun, hukumnya tidak sampai haram, karena sebenarnya itu belum wajib baginya. Ini seperti seseorang yang menawar suatu barang kemudian muncul niat pada dirinya untuk tidak jadi membelinya.

Seorang peminang juga makruh meninggalkan wanita yang telah dilamarnya, bila sang wanita telah cenderung kepadanya, sementara para peminang yang lain telah tertutup jalannya untuk meminangnya, karena ia hanya tertarik kepada si peminang itu.

Atas dasar inilah, hukum membatalkan lamaran sesudah adanya kecenderungan masing-masing pihak itu berbeda-beda, menurut perbedaan penyebabnya :

1. Bila pembatalan tersebut karena tujuan yang benar, maka hal itu tidak makruh.

2. Bila pembatalan tersebut tidak ada sebabnya, maka hal itu makruh, karena itu dapat membuat hati orang lain hancur. Bahkan, pembatalan tersebut bisa sampai ke tingkatan haram, yaitu apabila si wanita telah menaruh kecenderungan kepada si peminang, sementara para peminang yang lain telah tertutup jalannya untuk meminang dirinya, kemudian si peminang itu membatalkan pinangannya. Allah l berfirman, “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Ash-Shaff [61] : 3).

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi n bersabda:


آيَةُ اْلمُنَافِقِ ثَلاَثٌ، إِذَا حَدَثَ كَذَبَ، وَإِذَا أؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ


”Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; bila berbicara ia berdusta, bila dipercaya ia khianat, dan bila berjanji ia menyelisihi.”

3. Bila pembatalan tersebut disebabkan adanya peminang lain yang datang kepadanya, maka hal ini adalah haram, berdasarkan apa yang telah kita bahas sebelumnya.

Etika Menolak Pinangan

Sebagai agama yang menekankan kasih sayang di tengah-tengah umatnya, Islam memerintahkan agar kita menghargai perasaan orang lain. Tak ketinggalan, dalam masalah pinangan, Islam memberikan suri tauladan yang baik bagaimana kode etik dalam menolak sebuah pinangan, bilamana jalan tersebut adalah pilihan terbaik bagi seseorang.

Dalam Islam, seorang wanita juga boleh menawarkan dirinya sendiri kepada seorang laki-laki shalih agar menikahinya, jika aman dari fitnah. Hal ini pernah terjadi dalam kisah seorang wanita yang menawarkan dirinya kepada Nabi n. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bab ‘Ardhil Mar‘ati Nafsaha ‘alar Rajulish Shalih, dari hadits Sahl bin Sa‘ad, bahwa ada seorang wanita yang menawarkan dirinya kepada Nabi n. Kemudian ada seseorang yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, nikahkanlah saya dengannya.” “Apa yang kamu miliki (sebagai maharnya)?” tanya beliau. “Saya tidak memiliki apa-apa.” “Pergi dan carilah walaupun hanya cincin yang terbuat dari besi.”

Orang itu pun pergi lalu kembali lagi seraya berkata, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu walaupun hanya sebuah cincin yang terbuat dari besi. Namun, saya memiliki sarung ini, dan wanita tersebut berhak atas setengah sarung ini.” Sahl menambahkan, “Orang tersebut tidak memiliki pakaian sama sekali (kecuali sarungnya).” Maka Rasulullah bersabda, ‘Apa yang dapat engkau perbuat dengan setengah sarungmu itu, saat engkau memakainya?” Setelah duduk lama, orang itu pun beranjak pergi.

Saat beliau melihatnya, beliau pun memanggilnya—atau dipanggil untuk menghadap beliau--. Beliau bertanya kepadanya, “Apakah engkau memiliki hafalan Al-Quran?” “Saya hafal surat ini dan itu—yaitu beberapa surat--.” Nabi n lalu bersabda, “Aku menjadikan wanita itu sebagai milik (istri) mu dengan mahar hafalan Al-Quran yang ada padamu.”

Demikian pula, seorang wali boleh menawarkan wanita yang perwaliannya ada di tangannya kepada orang-orang yang memiliki kebaikan. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin Khaththab ketika menawarkan putrinya, Hafshah x, kepada Utsman bin Affan, lalu kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq c.

Bukhari telah meriwayatkan dalam hadits no. 5122, kitab An-Nikah, dari Abdullah bin Umar c bahwa ia berkata, “Tatkala Hafshah binti Umar menjadi janda setelah bercerai dengan Khunais bin Hudzafah As-Sahmi—salah seorang sahabat Rasulullah n yang wafat di Madinah--, maka Umar bin Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi Utsman bin Affan dan aku tawarkan Hafshah kepadanya. Utsman menjawab, ‘Saya akan mempertimbangkannya.’ Aku menunggu selama beberapa malam. Kemudian ia menemuiku seraya berkata, ‘Saya pikir, pada waktu ini aku belum berminat untuk menikah.’”

Umar melanjutkan, “Aku lalu menemui Abu Bakar Ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku akan menikahkanmu dengan Hafshah binti Umar.’ Abu Bakar hanya diam dan tidak memberi jawaban kepadaku. Maka, aku pun tahu bahwa ia akan menjawab sebagaimana jawaban Utsman. Lantas, aku pun berdiam diri selama beberapa malam. Beberapa malam kemudian, Rasulullah n meminang Hafshah, maka aku pun menikahkannya untuk beliau. Setelah itu, Abu Bakar menemuiku seraya berkata, ‘Barangkali engkau marah kepadaku saat engkau menawarkan Hafshah dan aku tidak memberi jawaban kepadamu?’ Aku pun menjawab, ‘Benar.’

Abu Bakar berkata, ‘Tidak ada yang mencegahku untuk memberikan jawaban kepadamu atas sesuatu yang engkau tawarkan kepadaku, melainkan karena aku telah mendengar bahwa Rasulullah n telah menyebut-nyebut namanya (Hafshah). Dan, aku tidak mau membuka rahasia beliau. Seandainya beliau tidak menikahinya, tentu aku akan menerimanya’.”

Dalam Fathul Bari, IX : 178, Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ulasan hadits ini dengan pernyataannya, “Dalam hadits tersebut terdapat dalil mengenai bolehnya seseorang untuk menawarkan anak perempuannya atau wanita-wanita lain yang menjadi tanggung jawabnya kepada seseorang yang dipercaya kebaikan dan keshalihannya. Sebab, dalam hal ini ada manfaat bagi orang yang ditawarkan dan ia tidak merasa malu dalam hal tersebut.

Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa menawarkan seorang wanita kepada orang yang telah beristri tidak ada salahnya. Sebab, pada saat itu, Abu Bakar pun telah beristri. Bahkan, persoalan semacam ini juga telah berlaku dalam syari‘at umat sebelum kita. Yaitu, Nabi Syu‘aib, orang shalih, yang telah berkata kepada Musa q seperti yang disebutkan dalam al-Quran, “Dia (Syu’aib) berkata, ‘Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun.” (Al-Qashash [28] : 178). Riwayat-riwayat di atas juga menunjukkan dibolehkannya menolak tawaran. Tapi, tentunya harus dengan cara yang baik.

Secara khusus, seorang wanita dibolehkan menolak sebuah pinangan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda, “Seorang janda tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai izin. Seorang gadis tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai persetujuan.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulallah, bagaimana tanda persetujuan seorang gadis?” Beliau menjawab, “Tanda persetujuannya adalah diamnya.” (HR. Bukhari, Muslim dan selainnya)

Hadits di atas secara jelas menunjukkan bahwa bila seorang laki-laki ingin menikahi seorang wanita, baik janda ataupun gadis, maka harus dengan izin atau persetujuan wanita itu terlebih dahulu. Itu berarti seorang wanita mempunyai hak untuk menerima atau menolak lamaran seseorang. Karena pembatalan juga menunjukkan ketidaksetujuan untuk dinikahi, dan cukuplah hadits di atas sebagai dalilnya.

Ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa ada seorang gadis menemui Rasulullah lalu bercerita tentang ayahnya yang menikahkannya dengan laki-laki yang tidak ia sukai. Maka, Rasulullah memberi hak kepadanya untuk memilih.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). Dalam riwayat Ahmad dan Nasa'i disebutkan bahwa wanita tersebut, lalu ia berkata, “Aku telah mengizinkan apa yg dilakukan bapakku itu. Hanya saja, aku ingin kaum wanita tahu bahwa seorang ayah itu tidak berhak memaksa anaknya kawin dengan seseorang.”

Dengan demikian, maka membatalkan pinangan itu dibolehkan, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan, dengan tetap melihat kemashlahatan kedua belah pihak. Sehingga, kalaupun pinangan harus pupus di tengah jalan, namun ukhuwah islamiyah tetap terjalan dan tidak sampai tali silaturrahmi terputus. Hal tersebut dapat terwujud bilamana setiap muslim menyadari bahwa permasalahan jodoh adalah salah satu bagian dari takdir dari Allah Ta'ala.*

Abu Hudzaifah, Lc. Penulis adalah penerjemah dan penulis buku-buku islami

Inilah lelaki idamanmu???

Ada seorang akhwat yang mengatakan ingin mendapatkan suami yang punya
> penghasilan yang mapan, gagah, bermata teduh, tegap, tampan, senyumnya
> menawan, berhidung mancung dan… stop! Ukht, anti mau cari calon suami apa
> mau audisi bintang sinetron? Seorang pendamping yang ideal tidak bisa
> dinilai dari segi fisik atau materi saja, walau memang lelaki yang “ganteng”
> mampu menyejukkan pandangan mata, namun apa artinya kalau mata sejuk namun
> hati jadi biru lebam, walaupun suami yang kaya raya mampu membelikan segala
> yang engkau inginkan, tapi mampukah dia membelikan surga buatmu?
>
> Jawabannya adalah “Tidak”! wahai saudariku, bukankah engkau menginginkan
> kebahagiaan yang tiada akhirnya, bukankah kasih sayang dan kelembutan yang
> selama ini menjadi impianmu, lelaki ideal memang susah dicari, namun bukan
> hanya “bentuk ideal” yang mampu membuatmu bahagia dan mengantarkanmu menuju
> rumah tangga yang sakinah, lelaki ideal memang sebuah harapan, namun kadang
> sebuah harapan yang terpenuhi tak mampu menghadirkan indahnya bahtera rumah
> tangga.
>
> Sosok ideal seperti gambaran di atas memang telah menjadi patokan dan syarat
> di sebagian besar akhwat (kalau mau jujur), selain alasan agar sejuk dilihat
> dan tidak membosankan pandangan, alasan lain adalah agar tidak memalukan di
> hadapan umahat yang lain kelak! Duhai kasihan saudaraku para ikhwan yang
> tidak masuk kriteria ini, dan juga penulis mungkin tidak bisa memenuhi
> syarat-syarat ini, namun sebuah realita dan kenyataan yang ada di lapangan
> tetap sebuah fakta.
>
> Kenyataan yang terjadi bahwa para ikhwan juga bukan pelanggan tempat-tempat
> fitness, seorang ikhwan pernah menyampaikan, “yaa akhi mau olah raga yang
> paling murah lari pagi dan jalan kaki banyak fitnah pandangan mata, kalau
> malam memang sepi tapi takut dikira maling atau teroris, atau malah kena
> paru-paru basah!” Ishbir ya akhi, tidak sampai sebegitunya juga kok, meski
> artikel ini penulis tujukan buat akhwat yang mau cari suami, buat ikhwan
> yang sedang mau cari belahan hidup juga bisa dipakai sebagai introspeksi
> apakah sudah memiliki kriteria berikut ini…
>
> PERTAMA : Dia adalah seorang laki-laki yang taat beragama, berdasarkan
> firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “...Sesungguhnya budak yang mukmin lebih
> baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.” (Al Baqarah : 221)
>
> Diharapkan sekali menjadi syarat nomor wahid untuk calon suami idaman
> (selain sudah muslim tentunya) adalah seorang laki-laki yang taat dan
> memiliki rasa takut yang tinggi kepada Allah Ta’ala, karena seorang calon
> suami seperti ini telah memenuhi syarat menjadi calon pemimpin rumah tangga,
> dengan ilmu agama yang ia miliki dan bekal keimanan-nya, sangat diharapkan
> calon suami seperti ini mampu mendidik anak dan istrinya kelak menjadi
> seorang yang shalih dan shalihah, menjadi hamba-hamba Allah Ta’ala yang taat
> pula, sehingga keharmonisan dan tersusunnya suatu rumah tangga yang sakinah
> bisa (insya Allah) diwujudkan.
>
> KEDUA : Dia adalah orang yang hafal atau mengerti sebagian dari Al-Qur’an :
> Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menikahkan seseorang dengan
> (mahar) beberapa ayat Al-Qur’an yang ia hafal. [HR. Al-Bukhari (5029), dan
> Muslim (1425)]
>
> Seorang calon suami yang banyak memiliki hafalan Al-Qur’an merupakan calon
> pasangan yang ideal bagi seorang wanita yang shalihah, seorang calon
> pemimpin rumah tangga yang ideal tentunya harus saggup mengajarkan Al-Qur’an
> kepada keluarganya kelak, menjaga hafalan dan bacaan Al-Qur’an anak dan
> istrinya, apalagi jika sang calon suami juga memahami tafsir ayat dari
> hafalan Al-Qur’annya, sehingga bisa menerapkan Al-Qur’an dalam kehidupan
> rumah tangga kesehariannya.
>
> KETIGA : Dia adalah seorang laki-laki yang mampu memberikan ba-ah (nafkah)
> dengan kedua macamnya, yaitu kemampuan untuk berjima’, dan kemampuan untuk
> memberikan pembiayaan nikah juga biaya hidup.
>
> Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan motivasi kepada para pemuda
> untuk menikah ketika mereka mampu memenuhi ba-ah, dan beliau juga berkata
> kepada Fathimah binti Qais : “Adapun Mu’awiyah adalah seorang laki-laki yang
> fakir.” [HR. Muslim (1480), An-Nasa-i (3245), dan Abu Dawud (2284)]
>
> Walaupun kaya raya bukan merupakan syarat, namun tetap diharapkan seorang
> ikhwan memiliki pekerjaan yang mampu dia gunakan untuk biaya pernikahannya
> dan untuk menghidupi anak-istrinya, walaupun tiap tahun menjadi “kontraktor”
> (tukang kontrak rumah-red), sudah dianggap mampu untuk memulai kehidupan
> rumah tangga, selain mampu memberikan kebutuhan biologis pada istrinya
> (bukan laki-laki yang impoten), sangat diharapkan untuk sebuah rumah tangga
> tidak dimulai dengan kehidupan menumpang orang tua (Pondok Mertua Indah).
>
> KEEMPAT : Dia adalah seorang laki-laki yang lemah lembut kepada wanita :
> Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda tentang Abu Jahm :
> “Adapun Abu Jahm adalah seorang laki-laki yang tidak pernah meletakkan
> tongkat dari pundaknya (suka memukul), maka nikahilah Usamah.” [HR. Muslim
> (1480), An-Nasa-i (3245), dan Abu Dawud (2284)]
>
> Hendaklah ada pada diri seorang calon suami sifat lembut dan romantis,
> karena akan semakin menambah mekarnya bunga-bunga cinta dalam rumah tangga,
> sehingga seorang wanita bisa benar-benar merasakan ketentraman dalam hidup
> berumah tangga, seorang calon suami hendaknya seseorang yang mampu tampil
> bijak dan mampu menahan amarah ketika melihat suatu hal yang tidak
> mengenakkan hatinya pada istrinya. Seorang calon suami idaman adalah
> laki-laki yang mampu tampil sebagai pengayom dalam rumah tangganya, juga
> seorang laki-laki yang pandai menumbuhkan suasana tentram dalam rumah, tidak
> suka teriak-teriak dan tukang marah, seorang laki-laki yang santun tutur
> kata dan penuh kasing saying kepada istrinya kelak.
>
> KELIMA : Istrinya senang melihatnya, sehingga di antara keduanya tidak ada
> kerenggangan dan si wanita tidak ingkar ketika hidup bersamanya. Dalam hal
> ini memang seorang laki-laki mampu menjaga penampilan dan badannya,
> sebagaimana seorang ikhwan mengharapkan calon istri yang semampai, begitu
> juga seorang akhwat ingin mendapatkan seorang calon suami yang memiliki
> postur ideal (tidak mesti harus tampan seperti bintang sinetron), maksudnya,
> hendaknya seorang ikhwan tidak membiasakan diri punya perut yang gemuk
> sehingga tidak enak dipandang, kemudian hendaknya ikhwan menjaga bau
> tubuhnya agar selalu tampil menyenangkan saat di hadapan istri, potongan
> rambut juga jangan acak-acakan seenaknya, mengenakan pakaian taqwa dengan
> baik dan rapi, maka akan menampilkan sosok berwibawa dan sejuk dilihat.
>
> Perkara wajah (tampang) dalam hal ini relatif, tergantung dari pihak calon
> istri ketika nazhar (melihat calon istri / suami), namun kami nasihatkan
> kepada ukhti fillah agar tidak hanya melihat ketampanan fisik kemudian
> melupakan akhlak calon suami, dan ada sebuah tips kecil bagi akhwat yang
> kurang berkenan ketika nazhar “bahwa cinta bisa mudah tumbuh ketika calon
> suami memiliki akhlak yang mulia”
>
> KEENAM : Dia adalah seorang laki-laki yang tidak mandul. Hal ini karena
> adanya riwayat yang menjelaskan tentang keutamaan keturunan kecuali jika ada
> beberapa faktor pendukung untuk menikah dengannya.
>
> Buah pernikahan adalah dengan hadirnya anak-anak yang bisa menyejukkan
> pandangan dalam rumah tangga, sangat diharapkan akan muncul benih-benih yang
> shalih dan shalihah dalam sebuah pernikahan seorang muslim dengan muslimah,
> namun jika ada kondisi lain yang tidak memungkinkan menjadi pengecualian
> bagi seorang muslimah yang berbesar hati untuk menikah dengan seorang lelaki
> yang mandul namun memiliki akhlak yang mulia, namun hendaknya hal ini
> disampaikan pada saat proses khitbah agar diketahui kekurangan masing-masing
> pihak dan tidak ada unsur penipuan dalam pernikahan.
>
> KETUJUH : Berasal dari lingkungan yang mulia, Al-Bukhari dan Muslim telah
> meriwayatkan dari hadits Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah, bahwa Nabi
> shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia seperti barang tambang emas
> dan perak. Yang terbaik dari mereka pada masa jahiliyah adalah yang terbaik
> pula pada masa Islam apabila mereka berilmu.”
>
> Lingkungan kadang berpengaruh besar terhadap akhlak seseorang, maka pilihlah
> calon suami yang memiliki pergaulan yang syar’i, bukan laki-laki yang suka
> nongkrong di pinggir jalan atau laki-laki yang hura-hura, namun carilah seorang
> calon suami yang gemar
> menghadiri ta’lim-ta’lim yang mengajarkan Islam yang syar’i dan sunnah
> Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga dari pergaulan yang mulia
> ini diharapkan mampu muncul sosok yang bersih dan jauh dari bisikan-bisian
> maksiyat.

Rasulullah bersabda:
>
> jgnlah kalian duduk-duduk di tepi-tepi jalan. mrk berkata "Ya
> Rasulullah, tempat-tempat duduk kami ditepi jalan." Beliau
> bersabda, "jk kalian memang hrs melakukannya, maka hendaklah
> mmberikan hak jalan itu." mrk bertanya, "apa hak jalan
> itu?". jwb beliau, "Memalingkan pandangan dari hal yg
> dilarang Allah, mnyingkirkan gangguan dan menjawb salam" HR.Muslim

>
> Demikianlah wahai ukhti fillah, termasuk beberapa kriteria seorang lelaki
> idaman, dan penulis telah banyak bertemu dengan ikhwan-ikhwan yang memenuhi
> semua criteria di atas, jadi bagi ukhti fillah yang sudah siap menikah tidak
> susah untuk mendapatkan calon pendamping idaman, banyak ikhwan yang
> berakhlak mulia siap untuk mendampingimu, (afwan penulis tidak membuka
> kontak jodoh), namun rumah tangga yang sakinah tidak bisa dibeli dengan
> harta yang berlimpah atau dengan wajah bak bintang film laga, bisa jadi
> mereka yang bercelana “cingkrang” walau tidak kebanjiran, atau mereka yang
> berjenggot tipis walau tidak berhidung mancung seperti orang arab (maklum
> ras asia), atau juga mereka yang berbaju gamis dan suka menundukkan
> pandangan saat berjalan di tempat umum (walau kadang sering tidak sengaja
> nabrak rambu-rambu jalan) adalah calon suami yang engkau cari… 


> -wallahu'alam- 


http://myquran.com

Kiat Mencari Jodoh

Allah telah menciptakan manusia berpasang-pasangan, supaya muncul suatu ketenangan, kesenangan, ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan. Hal ini tentu saja menyebabkan setiap laki-laki dan perempuan mendambakan pasangan hidup yang memang merupakan fitrah manusia, apalagi pernikahan itu merupakan ketetapan Ilahi dan dalam sunnah Rasul ditegaskan bahwa " Nikah adalah Sunnahnya". Oleh karena itu Dinul Islam mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara laki-laki dan perempuan dan selanjutnya mengarahkan pertemuan tersebut sehingga terlaksananya suatu pernikahan.

Namun dalam kenyataannya, untuk mencari pasangan yang sesuai tidak selamanya mudah. Hal ini berkaitan dengan permasalahan jodoh. Memang perjodohan itu sendiri suatu hal yang ghaib dan sulit diduga, kadang-kadang pada sebagian orang mudah sekali datangnya, dan bagi yang lain amat sulit dan susah. Bahkan ada kalanya sampai tua seseorang belum menikah juga.

Fenomena beberapa tahun akhir-akhir ini, kita melihat betapa banyaknya muslimah-muslimah yang menunggu kedatangan jodoh, sehingga tanpa terasa usia mereka semakin bertambah, sedangkan para musliminnya, bukannya tidak ada, mereka secara ma'isyah belum berani maju untuk melangkahkan kakinya menuju mahligai rumah tangga yang mawaddah wa rohmah. Kekhawatiran jelas tampak, ditengah-tengah perekonomian yang semakin terpuruk, sulit bagi mereka untuk memutuskan segera menikah.

Gejala ini merupakan salah satu dari problematika dakwah dewasa ini. Dampaknya kaum muslimah semakin membludak, usia mereka pelan namun pasti beranjak semakin naik.

Untuk mencari solusinya, dengan tetap berpegangan kepada syariat Islam yang memang diturunkan untuk kemashlahatan manusia, beberapa kiat mencari jodoh dapat dilakukan :

1. Yang paling utama dan lebih utama adalah memohonkannya pada Sang Khalik, karena Dialah yang menciptakan manusia berpasang-pasangan (QS.4:1). Permohonan kepada Allah SWT dengan meminta jodoh yang diridhoiNya, merupakan kebutuhan penting manusia karena kesuksesan manusia mendapatkan jodoh berpengaruh besar dalam kehidupan dunia dan akhirat seseorang.

2. Melalui mediator, antara lain :

a. Orang tua. Seorang muslimah dapat meminta orang tuanya untuk mencarikannya jodoh dengan menyebut kriteria yang ia inginkan. Pada masa Nabi SAW, beliau dan para sahabat-sahabatnya segera menikahkan anak perempuan. Sebagaimana cerita Fatimah binti Qais, bahwa Nabi SAW bersabda padanya : Kawinlah dengan Usamah. Lalu aku kawin dengannya, maka Allah menjadikan kebaikan padanya dan keadaanku baik dan menyenangkan dengannya(Hr.Muslim).

b. Guru ngaji (murobbiyah).Jika memang sudah mendesak untuk menikah, seorang muslimah tidak ada salahnya untuk minta tolong kepada guru ngajinya agar dicarikan jodoh yang sesuai dengannya. Dengan keyakinan bahwa jodoh bukanlah ditangan guru ngaji. Ini adalah salah satu upaya dalam mencari jodoh.

c. Sahabat dekat. Kepadanya seorang muslimah bisa mengutarakan keinginannya untuk dicarikan jodoh. Sebagai gambaran, kita melihat perjodohan antara Nabi SAW dengan Khadijah ra. Diawali dengan ketertarikan Khadijah ra kepada pribadi beliau yang pada saat itu berstatus karyawan pada perusahan bisnis yang dipegang oleh Khadijah ra. Melalui Nafisah sebagai mediatornya akhirnya Nabi SAW menikahi Khadijah ra..

d. Biro Jodoh. Biro jodoh yang Islami dapat memenuhi keinginan seorang muslimah untuk menikah. Dikatakan Islami karena prosedur yang dilakukan sesuai dengan syariat Islam.

3. Langsung, dalam arti calon sudah dikenal terlebih dahulu dan ia berakhlak Islami menurut kebanyakan orang-orang yang dekat dengannya (temannya atau pihak keluarganya). Namun pacaran tetap dilarang oleh Islam. Jika masing-masing sudah cocok maka segera saja melamar dan menikah. Kadang kala yang tertarik lebih dahulu adalah muslimahnya, maka ia dapat menawarkan dirinya kepada laki-laki saleh yang ia senangi tersebut (dalam hal ini belum lazim ditengah-tengah masyarakat kita). Seorang sahabiat pernah datang kepada Nabi SAW dan menawarkan dirinya pada beliau. Maka seorang wanita mengomentarinya, "Betapa sedikit rasa malunya." Ayahnya yang mendengar komentar putrinya itu menjawab, "Dia lebih baik dari pada kamu, dia menginginkan Nabi SAW dan menawarkan dirinya kepada beliau."

Sebuah cerita bagus dikemukakan oleh Abdul Halim Abu Syuqqoh pengarang buku Tahrirul Mar'ah, bahwa ada seorang temannya yang didatangi oleh seorang wanita untuk mengajaknya menikah. Temannya itu merasa terkejut dan heran, maka wanita itu bertanya, "Apakah aku mengajak anda untuk berbuat haram? Aku hanya mengajak anda untuk kawin sesuai dengan sunnah Allah dan RasulNya". Maka terjadilah pernikahan setelah itu.

Semua upaya tersebut hendaknya dilakukan satu persatu dengan rasa sabar dan tawakal tidak kenal putus asa. Disamping itu seorang muslimah sambil menunggu sebaiknya ia mengaktualisasikan kemampuannya. Lakukan apa yang dapat dilakukan sehingga bermanfaat bagi masyarakat dan dakwah. Jika seorang muslimah kurang pergaulan, bagaimana ia dapat mengenal orang lain yang ingin menikahinya.

Barangkali perlu mengadakan evaluasi terhadap kriteria pasangan hidup yang ia inginkan. Bisa jadi standar ideal yang ia harapkan menyebabkan ia terlalu memilih-milih. Menikah dengan orang hanif (baik keagamaannya) merupakan salah satu alternatif yang perlu diperhatikan sebagai suatu tantangan dakwah baginya.

Akhirnya, semua usaha yang telah dilakukan diserahkan kembali kepada Allah SWT. Ia Maha Mengetahui jalan kehidupan kita dan kepadaNyalah kita berserah diri. Wallahu A"lam bishowab. 

(Tulisan : Ustz Herlina Amran dalam Hudzaifah.org)

http://hudzaifah.org/Article256.phtml


http://myquran.com/forum

Pilih Pacaran Atau Ta'aruf???

Jaman sekarang gampang banget ketemu sama orang yang lagi pacaran. Di jalan, mal, kampus, di mana-mana. Apalagi sekarang kan ada acara TV yang nyomblang-in orang sampai ke pengeksposean pernyataan cinta segala.

Sebetulnya apa sih pacaran itu? Biasanya kalau ada cowok dan cewek saling suka, salah satunya nyatain dan yang lainnya terima, itu berarti udah pacaran. Buat sebagian orang pacaran itu isinya jalan berdua, makan, nonton, curhat-curhatan. Pokoknya just for fun lah! Ada juga orang-orang tujuannya untuk lebih mengenal sebelum pernikahan.
Sebagai umat Islam kita perlu lho mengkritisi apakah “praktek pacaran” yang banyak dilakukan orang ini sesuai atau tidak dengan aturan-aturan dalam Islam.
Pertama, orang kalo lagi pacaran maunya berdua terus. Ah yang bener, iya apa iya. Beberapa hari enggak ditelpon udah resah, seharian enggak di sms udah kangen. Begitu ketemu pengen memandang wajahnya terus, wah pokoknya dunia serasa berbunga-bunga. Apalagi kalau pakai acara mojok berdua, di tempat sepi mesra-mesraan. Waduh, hati-hati deh, soalnya Rasulullah SAW bersabda, â€œ Tiada bersepi-sepian seorang lelaki dan perempuan, melainkan syetan merupakan orang ketiga diantara mereka.”
Kedua, kalau lagi pacaran rasanya seperti dimabuk cinta. Lupa yang lainnya. Dunia serasa milik berdua yang lainnya ngontrak. Hati-hati juga nih, nanti kita bisa lupa sama tujuan Allah menciptakan kita (manusia). FirmanNya, â€œ Dan tidak Kuciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (QS 51:56)
Ketiga, bukan rahasia lagi kalau di jaman serba permisif ini seks udah jadi bumbu penyedap dalam pacaran (Majalah Hai edisi 4-10 Maret 2002). Majalah Kosmopolitan juga mengadakan riset di lima universitas terbesar di Jakarta, dan ternyata dari yang mengaku pernah melakukan aktivitas seksual, sebanyak 67,1% pertama kali melakukan dengan pacarnya.
Memang banyak orang pacaran awalnya enggak menjurus ke sana. Tapi gara-gara sering berdua, ada kesempatan, dan diem-diem syetan udah ngerubung, yah terjadilah. Pertama pegang tangan, terus rangkul pundak, terus cium pipi, terus…..terus…..wah bisa kebablasan deh. Jangan salah lho, agama kita melindungi kita dengan melarang melakukan perbuatan-perbuatan itu. FirmanNya, â€œDan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu pekerjaan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS 15:32) Ternyata Al Quran udah melakukan tindakan preventif dengan melarang mendekatinya, bukan melarang melakukannya. Rasulullah SAW juga bersabda, â€œSeandainya kamu ditusuk dengan jarum besi, maka itu lebih baik bagimu daripada menyentuh perempuan yang tidak halal bagimu.” Jadi pegang-pegangan tangan juga mesti dihindari tuh.
Keempat, ternyata pacaran bukan jaminan akan berlanjut ke jenjang perkawinan. Banyak orang di sekitar kita yang sudah bertahun-tahun pacaran ternyata kandas di tengah jalan. Pacaran pun tidak menjadikan kita tahu segalanya tentang si dia. Banyak yang sikapnya berubah setelah menikah.
Kalaulah kini kita tahu praktek pacaran nggak menjadi suatu jaminan bahkan banyak melanggar aturan Allah dan tidak mendapat ridhoNya, masihkah kita yang mengaku hambaNya, yang menginginkan surgaNya, yang takut akan nerakaNya, masih melakukannya?
Tapi kalau bukan dengan pacaran, gimana caranya ketemu jodoh? Jaman sekarang kan kita enggak bisa gampang percaya sama orang, jadi perlu ada penjajagan. Islam punya solusi yang mantap dan OK dalam memilih jodoh. Istilahnya ngetop dengan namaTa’aruf, artinya perkenalan.
Pertama, ta’aruf itu sebenarnya hanya untuk penjajagan sebelum menikah. Jadi kalau salah satu atau keduanya nggak merasa sreg bisa menyudahi ta’arufnya. Ini lebih baik daripada orang yang pacaran lalu putus. Biasanya orang yang pacaran hatinya sudah bertaut sehingga kalau tidak cocok sulit putus dan terasa menyakitkan. Tapi ta’aruf, yang Insya Allah niatnya untuk menikah Lillahi Ta’ala, kalau tidak cocok bertawakal saja, mungkin memang bukan jodoh. Tidak ada pihak yang dirugikan maupun merugikan.
Kedua, ta’aruf itu lebih fair. Masa penjajakan diisi dengan saling tukar informasi mengenai diri masing-masing baik kebaikan maupun keburukannya. Bahkan kalau kita tidurnya sering ngorok, misalnya, sebaiknya diberitahukan kepada calon kita agar tidak menimbukan kekecewaan di kemudian hari. Begitu pula dengan kekurangan-kekurangan lainnya, seperti mengidap penyakit tertentu, enggak bisa masak, atau yang lainnya. Informasi bukan cuma dari si calon langsung, tapi juga dari orang-orang yang mengenalnya (sahabat, guru ngaji, orang tua si calon). Jadi si calon enggak bisa ngaku-ngaku dirinya baik. Ini berbeda dengan orang pacaran yang biasanya semu dan penuh kepura-puraan. Yang perempuan akan dandan habis-habisan dan malu-malu (sampai makan pun jadi sedikit gara-gara takut dibilang rakus). Yang laki-laki biarpun lagi bokek tetap berlagak kaya traktir ini itu (padahal dapet duit dari minjem temen atau hasil ngerengek ke ortu tuh).
Ketiga, dengan ta’aruf kita bisa berusaha mengenal calon dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Hal ini bisa terjadi karena kedua belah pihak telah siap menikah dan siap membuka diri baik kelebihan maupun kekurangan. Ini kan penghematan waktu yang besar. Coba bandingkan dengan orang pacaran yang sudah lama pacarannya sering tetap merasa belum bisa mengenal pasangannya. Bukankah sia-sia belaka?
Keempat, melalui ta’aruf kita boleh mengajukan kriteria calon yang kita inginkan. Kalau ada hal-hal yang cocok Alhamdulillah tapi kalau ada yang kurang sreg bisa dipertimbangan dengan memakai hati dan pikiran yang sehat. Keputusan akhir pun tetap berdasarkan dialog dengan Allah melalui sholat istikharah. Berbeda dengan orang yang mabuk cinta dan pacaran. Kadang hal buruk pada pacarnya, misalnya pacarnya suka memukul, suka mabuk, tapi tetap bisa menerima padahal hati kecilnya tidak menyukainya. Tapi karena cinta (atau sebenarnya nafsu) terpaksa menerimanya.
Kelima, kalau memang ada kecocokan, biasanya jangka waktu ta’aruf ke khitbah (lamaran) dan ke akad nikah tidak terlalu lama. Ini bisa menghindarkan kita dari berbagai macam zina termasuk zina hati. Selain itu tidak ada perasaan “digantung” pada pihak perempuan. Karena semuanya sudah jelas tujuannya adalah untuk memenuhi sunah Rasulullah yaitu menikah.
Keenam, dalam ta’aruf tetap dijaga adab berhubungan antara laki-laki dan perempuan. Biasanya ada pihak ketiga yang memperkenalkan. Jadi kemungkinan berkhalwat (berdua-duaan) kecil yang artinya kita terhindar dari zina.
Nah ternyata ta’aruf banyak kelebihannya dibanding pacaran dan Insya Allah diridhoi Allah. Jadi, sahabat..kita mau mencari kebahagian dunia akhirat dan menggapai ridhoNya atau mencari kesulitan, mencoba-coba melanggar dan mendapat murkaNya?