Minggu, 07 Oktober 2012

Ku mencintaiNya karena ku mencintainya


Begitu banyak peristiwa yang tak dapat kita duga dalam hidup ini. Begitu pula dengan Cinta. Cerita tentang Cinta masih menjadi topik utama yang selalu diperbincangkan dikalangan kita. 1 kisah yang diambil dari potongan episode kehidupan seorang sahabat, yang semoga, insyaAlloh memberikan secuil manfaat dan dapat kita ambil ibroh dari kisah tersebut…

Menjelang UN SMA beberapa tahun silam, salah seorang sahabat –sebut saja namanya Elin- mengajakku pergi ke toko buku Islami kecil yang berada di dekat SMA kami. Sapaan salam hangat kakak-kakak para penjaga toko senantiasa menghiasi bibir-bibir mereka ketika para tamu seperti kami datang. “Assalamu’alaikum…”. Yah, toko buku tersebut sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi kami, karena sudah cukup sering kami menyambangi toko ini untuk keperluan tugas observasi bahasa Indonesia ataupun guna membeli herbal atau buku-buku bacaan sebagai makanan hati.
“Semuanya Rp 25.000.” Segera sahabatku itu membayar beberapa buku saku yang ia beli dan sejurus kemudian kami melenggang keluar dengan terlebih dulu mengucap terima kasih dan tentu saja, salam. “Tata, liat kan ikhwan yang jadi kasir tadi?”, tanya sang sahabat. “Meneketehe! Mana ku tekwan. Enggak liat apa tadi wajahku ku tundukkan bah bidadari turun dari syurga hehehe… emang kenapa bu?”, jawabku sekenanya. Tete….p dengan ciri khas lebay n gokilku. “Itu yang namanya k Ridwan!”, jelasnya penuh ekspresi. Ku tangkap ada rona kebahagiaan dari raut wajahnya. Aku baru ingat, kalau beberapa hari yang lalu ia sempat bercerita kepadaku bahwa ia yang sedang galau akan pertanyaan, butuh jawaban dalam perspektif agama. Dan ia memutuskan melayangkan SMS pertanyaan pada sebuah stasiun radio Islam lokal yang kebetulan sedang ia dengarkan, dan tak lama kemudian sang penyiar sekaligus ustadz tersebut menjawab pertanyaan sahabatku itu. Mendengar jawaban yang menyejukkan hati, sahabatku ini ‘jatuh hati’ dan akhirnya ‘cinta’ terhadap penyiar radio sekaligus ustadz pengajar bahasa Arab plus penjaga toko buku Islami yang bernama k Ridwan tersebut. Dan kesempatan mampir ke toko buku tadi adalah kali pertama Elin mengetahui sosok nyata sang penyiar. ASLI DAH, akhwat mana yang tidak nyaman berada disamping ikhwan macam k Ridwan yang pembawaannya tenang, wajahnya bercahaya, santun, penampilan sederhana, senyum tidak pernah lepas dari bibirnya. Tidak heran kalau banyak akhwat, bahkan wanita biasa sekalipun menaruh hati padanya.
Sahabat kami yang lain –sebut saja namanya Arum-, jebolan pesantren putri plus aliyah yang lumayan tersohor di tempat kami, datang dan memberitahukan kepada Elin dengan tutur kata yang sangat sopan bahwasanya k Ridwan sedang proses ta’aruf dengan salah seorang sahabat kami juga. Latifah, nama perempuan itu. Ia seorang akhwat, cantik, jilbaber, anggota Rohis, putri seorang ustadz, memiliki sifat keibuan, hafidzah, lancar berbahasa arab, supel, ‘merangkul’ dan segudang kelebihan lainnya yang dapat terlihat secara jelas dan dapat kami rasakan apabila kami berinteraksi dengan ‘calon istri’ k Ridwan ini disela-sela kegiatan Rohis atau sekedar sharing di mushola sekolah. Pokoknya perfect banget dah untuk ukuran seorang akhwat.
Jleb. Hati perempuan mana yang tidak hancur mendengar kabar tersebut mampir ke kuping, terlebih mampir ke kuping Elin, sahabat aku dan Arum. Latifah pun sudah tahu bahwa ada seorang muslimah yang sedang dekat dan menaruh perhatian lebih pada calon suaminya itu. Ia tahu dari penuturan k Ridwan sendiri padanya. Tapi, Alhamdulillah calon istri k Ridwan tersebut tidak cemburu berlebihan ataupun cemburu buta. Karena apa? Karena Latifah tahu, bahwa akan ada konsekuensi yang harus ia tanggung apabila bersuamikan seorang pengajar, ustadz, seorang penyiar radio, plus seorang penjaga toko. Mulai dari interaksi campur baur laki-laki dan perempuan yang tidak bisa dihindari, ada beberapa atau bahkan akan banyak murid-murid, jamaah, pendengar setia sang suami yang suka terhadap suaminya itu. Apakah kita bisa melarang rasa suka yang tumbuh dihati orang lain? Tentu tidak akan bisa. Apakah kita bisa memaksa rasa cinta yang hadir di jiwa wanita lain terhadap suami kita itu musnah serta hilang? 1000% tidak akan bisa. Tidak mungkin ia mengekang sang suami untuk tidak bersosialisasi dengan orang lain. Karena ia tahu bahwa suaminya bukan milik ia seutuhnya. Suaminya milik Alloh, ia pun milik Alloh. Pertemuan dengan belahan jiwanya pun itu kehendak Alloh, perpisahan pun bisa saja terjadi apabila tidak ditakdirkan tuk bersatu, itu pun kehendakNya. Katanya yang penting “saling jujur, saling percaya, saling menjaga kepercayaan, serta komunikasi yang selalu dijaga.”, begitu katanya.
Sungguh Alloh yang punya rencana dan rahasia. Mungkin orang yang tidak bisa menangkap hikmah dibalik peristiwa diatas akan serta merta menjugde Alloh yang tidak-tidak. Tapi, Elin, sahabat kami tersebut berbeda. Ia malah berterimakasih kepada Alloh karena lewatnya lah, ia dapat lebih mencintaiNya... Lewat k Ridwanlah, Elin sang alumni MTS, juara speech, jago bahasa Arab, sang jago debat, aktif pramuka juga anggota Rohis ini dapat lebih menekuni agamanya. K Ridwan menjadi tempat bertanya akan agama. K Ridwan telah dianggapnya seperti kakak sendiri. Karena campur tangan Alloh lewat k Ridwanlah kini Elin lebih rajin sholat tahajud, tadarus dan seabreg rutinitas ibadah lainnya yang bisa dibilang ketika belum mengenal sosok penyiar radio tersebut, ibadahnya belang-bentong. Apabila Elin dapat meluapkan rasa bahagia dihatinya itu, mungkin ia akan bertutur “Ta, aku mencintaiNya karena aku mencintainya. Ia yang mengantarkanku mengenal Penciptaku lebih dekat… Karena ia, aku makin mencintaiNya. Bukan masalah buatku karena cinta yang ku punya bukanlah untuknya. Aku yakin, insyaAlloh Alloh akan menggantinya dengan seseorang yang lebih istimewa disaat yang tepat. Toh aku pun g mau dicap sebagai ‘perusak hubungan’ orang lain, dan bersikukuh menjadi pembeli yang sama-sama menawar 1 barang dagangan yang sama dengan pembeli yang telah terlebih dahulu deal menetapkan harga yang sesuai dengan si pedagang. Sudah sewajarnyalah aku yang mundur”, jawabnya penuh teka-teki. Oia, kata-kata yang ia ucap barusan adalah penganalogian yang ada dalam sebuah hadist Nabi salallahu’alaihi wasallam berkenaan tentang etika meminang seseorang.
Setelah acara perpisahan SMA, tahukah ada episode seru apa lagi, Sahabat? Selang beberapa waktu, k Ridwan menikah dengan Latifah. Proses dari mulai ta’aruf sampai pada tahapan pernikahan mereka begitu cepat, hanya butuh waktu 3 bulan, Subhanallah… Sahabatku Elin menyempatkan hadir ke Walimatul ‘ursy mereka, ikut merasakan kebahagiaan yang sama seperti apa yang dirasakan kedua mempelai. Alhamdulillah, kini usia pernikahan Latifah dan k Ridwan telah memasuki tahun ke 5 dan telah dititipi Alloh 2 jundi-jundi kecil nan lucu… (terakhir kami bertemu sih Latifah baru punya 2 orang buah hati ^.^v)
Selang beberapa tahun setelah pernikahan k Ridwan, Elin pun menikah dengan lelaki pilihan Alloh. Lelaki biasa yang baik secara budi dan akhlaknya. Santun, pekerja keras walaupun bukan seorang ikhwan sekaliber k Ridwan, bahkan bukan seorang ustadz seperti yang diidam-idamkan Elin dahulu. Ketika ku tanya mengapa tidak mencari seorang ‘ikhwan’ untuk menjadi pendamping hidup? Dengan senyum ia menjawab, “Cukuplah laki-laki yang ada iman dan taqwa dihatinya. Karena aku sadar, aku pun bukanlah seorang akhwat.” Jawaban luar biasa! Jawaban yang lahir dari lubuk hati sahabatku yang paling dalam. Kontras sekali dengan fenomena yang banyak terjadi pada zaman sekarang. Akhwat akan mencari pendamping hidup seorang ikhwan tulen, ilmu agamanya lebih tinggi dibanding sang akhwat. Berdalih bahwa jika mendapatkan suami seorang ikhwan yang lebih dari segi agama, sang ikhwan akan bisaaaaaaa membimbing sang akhwat, menuntun dalam masalah ibadah. Karena ‘arrijaalu qowwamuuna  ‘alannisa’. “Kan dimana-mana suami yang ngebimbing istri, taaaaaa…,” jawaban macam ini yang sering ku dengar dari mulut sahabat-sahabatku yang lain. Aku heran, mengapa tidak ada –mungkin tidak banyak- akhwat-akhwat yang berani mencari pendamping hidup yang minim  akan ilmu? Sang istri nanti yang membimbing sang suami dengan kelebihan ilmu yang si istri punya. Menjadi guru bagi sang suami, seperti yang dicontohkan wanita tabi’in yang dikenal mumpuni dalam ilmu periwayatan hadist yakni Fathimah binti Al Mundzir bin Zubair bin Awwa.m yang menikah dengan Hisyam bin Urwah bin Zubair bin Awwam, sepupunya. Fathimah lebih tua13 tahun daripada suaminya. Tidak hanya usianya saja yang lebih tua, ilmu Fathimah pun lebih banyak. Karena itulah ia membagi ilmunya kepada sang suami… dan ia adalah sebuah contoh nyata tentang kemuliaan ilmu.
Sahabat, hal ini, hendaknya jadi PR untuk kita semua…
Ada banyak ilmu yang ku dapat dari potongan episode kehidupan para sahabatku…Elin dan juga Latifah. Mereka sama-sama cantik luar biasa. Tidak hanya secara dzohir, akan tetapi kecantikan batin yang mereka punya memancar, meneduhkan hati-hati kami yang rindu akan CahayaNya. Mereka, mengajarkanku akan arti sebuah keikhlasan murni tanpa embel-embel suatu apapun, mengajarkanku pula akan tawakkal alallah, mengajarkanku akan konaah… rasa cukup yang mengembul dari dalam hati, karena Alloh semata…
Masih banyak hikmah serta pelajaran yang tidak dapat ku pahami, karena keterbatasan ilmu yang dititipkan Alloh padaku, sedang rahasia dan ilmuNya Yang Maha Luas, tidak akan pernah dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia…

Wallahua’lam bisshowab.

Serpihan potongan episode kehidupan